Atikurrahman, Moh. and Ilma, Awla Akbar (2021) Talkin kematian romantik yang berulang: Max Havelaar, Sitti Nurbaya, dan Kolonialisme. In: Manis Tapi Tragis: Kisah Saijah-Adinda dalam Max Havelaar. 1 ed. Cantrik Pustaka, Yogyakarta, pp. 176-193. ISBN 9786236063293
Talkin-Kematian-Romantik-Yang-Berulang-Book-UINSA.pdf - Published Version
Download (1MB)
Abstract
“Kematian romantik” yang dialami Saijah-Adinda dalam Max Havelaar kelak dapat dijumpai kembali dalam khazanah kesusastraan Indonesia prakemerdekaan. Meskipun relasi antarteks lintas abad itu berasal dari kecenderungan yang sama (romantisme abad XVIII) namun peristiwa tragik yang dialami dua tokoh Multatuli seharusnya dibaca sebagai ironi berbeda dibandingkan kenahasan Mariamin, Sitti Nurbaya, Samsulbahri, Hanafi, dan Meringgih dalam roman-roman tradisi Balai Pustaka. Selain pengarang, latar penciptaan, modus operandi, banyak indikator lain yang turut membentuk dan memperpengaruhi penciptaan teks sastra dari abad berbeda. Tulisan ini bermaksud memahami motif kematian dalam Max Havelaar yang dibandingkan dengan Sitti Nurbaya. Pemilihan roman Marah Roesli sebagai teks bandingan didasarkan pada arketipe yang dominan antara teks sastra yang digubah pengarang Dunia Ketiga dengan teks sastra pengarang Dunia Pertama. Sedangkan pembacaan motif kematian dalam novel menjadi pintu masuk dalam memahami kekuasan pemerintah Hindia Belanda yang termanifestasi melalui penaklukkan wilayah-wilayah Nusantara sebagai konstruksi rigid kolonialisme. Dalam kedua novel, kota digambarkan sebagai ruang yang dikontrol sepenuhnya oleh kekuasaan kolonial. Sementara desa, dengan lokasi yang jauh dan akses yang sulit, dianggap sebagai ruang di luar otoritas kolonial yang sulit dikontrol bahkan seringkali mengancam, mengganggu dan mengejutkan pihak penjajah. Kematian Saijah dan Meringgih mewakili gambaran desa yang liar dan mengusik namun akhirnya selalu takluk. Pemberontakkan yang gagal menjadi bumbu cerita yang dilestarikan dalam roman-roman Hindia Belanda abad XIX. Pada akhirnya kedudukan kolonial selalu ditampilkan sebagai pihak yang superior. Sebaliknya, ketertaklukkan desa menandai usaha resistensi absurd penduduk lokal yang hanya bermodal cita-cita, tradisi-tradisi, dan norma-norma usang yang semakin tidak relevan. Narasi kegagalan mereka menggenapi dominasi dan hegemoni kolonial atas wilayah-wilayah Nusantara. Ironisnya, gagasan seputar dominasi kompeni justru kembali dikukuhkan dalam roman-roman Melayu modern Balai Pustaka yang sekaligus menjadi penanda bahwa hegemoni kolonial demikian mengakar dan tak terbantahkan.
Item Type: | Book Section |
---|---|
Creators: | Creators Email ["eprint_fieldname_creators_NIDN" not defined] Atikurrahman, Moh. atiqurrahmann@uinsby.ac.id 2007108504 Ilma, Awla Akbar awlaakbar24@gmail.com - |
Uncontrolled Keywords: | Max Havelaar; Sitti Nurbaya; Saidjah; Adinda; romantisme; kolonialisme |
Subjects: | 20 LANGUAGE, COMMUNICATION AND CULTURE > 2005 Literary Studies > 200516 Indonesian Literature 20 LANGUAGE, COMMUNICATION AND CULTURE > 2005 Literary Studies > 200524 Comparative Literature Studies |
Divisions: | Fakultas Adab dan Humaniora > Sastra Indonesia |
Depositing User: | Moh Atikurrahman |
Date Deposited: | 08 Nov 2021 16:11 |
Last Modified: | 08 Nov 2021 16:11 |
URI: | http://repository.uinsa.ac.id/id/eprint/1742 |