Feodalisme Mengancam Demokratisasi Desa

ADVERTISEMENT

Kolom

Feodalisme Mengancam Demokratisasi Desa

Riza Multazam Luthfy - detikNews
Kamis, 09 Feb 2023 11:15 WIB
pilkades lamongan
Pilkades (Foto ilustrasi: Eko Sudjarwo)
Jakarta -

Gabungan Kepala Desa dari beragam daerah belum lama ini menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR. Mereka menuntut anggota dewan segera merevisi Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Ribuan Kepala Desa tersebut meminta agar masa jabatan mereka diperpanjang menjadi 9 tahun.

Fenomena di atas pada dasarnya menggambarkan kokohnya feodalisme di desa. Keinginan berkuasa serta hasrat mengantongi kehormatan dan kewibawaan yang ditunjukkan oleh Kepala Desa merefleksikan nilai-nilai feodal yang diwariskan lintas generasi. Tak heran apabila pemimpin di level lokal tersebut sering terjerumus dalam kubangan oligarki dan otoritarianisme. Bagaimanapun, terlalu lamanya seseorang menjadi Kepala Desa bisa membuatnya "lupa diri".

Penguasa Tunggal

Pembatasan masa jabatan Kepala Desa pada dasarnya merupakan ikhtiar mengurangi dominasi dan kekuasaan mereka. Sebagaimana diketahui, saat Orde Baru berkuasa, Kepala Desa memiliki masa jabatan delapan tahun dan bisa dipilih kembali untuk periode kedua. Tetapi, ketentuan tentang masa jabatan dua periode tidak selalu dipatuhi.

Dalam realitasnya, pemilihan Kepala Desa tidak diselenggarakan setiap delapan tahun dan bisa ditunda karena bermacam alasan (Anna Wetterberg, dkk., 2013: 88). Kepala Desa dipilih oleh masyarakat, namun para kandidatnya bisa saja merupakan titipan dari Pemerintah Kabupaten. Restu supra desa seolah menjadi salah satu syarat dilantiknya seseorang menjadi Kepala Desa. Dengan demikian, Pemerintah Kabupaten bisa saja memaksakan calon versi mereka tanpa memedulikan aspirasi dari bawah atau bahkan hasil pemilihan masyarakat.

Pada masa Orde Baru inilah, dominasi Kepala Desa di level akar rumput sangat kuat. Bermacam ketentuan pada masa itu dikondisikan sedemikian rupa. Upaya tersebut dilakukan agar terbentuk sistem politik lokal yang bercorak tertutup dan monopolistik. Itulah mengapa, Kepala Desa lebih diposisikan sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Pusat daripada pemimpin masyarakat.

Berdasarkan catatan historis, intervensi negara terhadap pemerintahan di bawahnya digencarkan melalui penyeragaman struktur pemerintahan desa yang turut melahirkan sentralisasi kekuasaan. Penempatan Kepala Desa selaku penguasa tunggal di level lokal pada masa itu terbukti menyuburkan feodalisme dan elitisme pemerintah desa. Kondisi demikian mewariskan kepemimpinan desa yang feodal, dinastik, serta oligarkis. Hal ini terutama merupakan imbas terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Konsep Kedaulatan

Wacana diperbolehkannya Kepala Desa menduduki jabatan selama 9 tahun rentan melemahkan semangat konstitusi. Padahal, pada masa kini, konstitusi dianggap sebagai konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Mengingat, masyarakat membutuhkan organisasi negara supaya kepentingan mereka terlindungi melalui pembentukan dan penggunaan mekanismenya.

Diembuskannya wacana di atas bertolak belakang dengan cita-cita hukum dan konstitusi. Hal tersebut mengesampingkan adanya pembatasan kekuasaan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Padahal, pembatasan kekuasaan bagi setiap jabatan publik merefleksikan konsep kedaulatan yang dianut dalam negara bangsa. Sebagaimana diketahui, konsep kedaulatan dewasa ini dipahami sebagai kekuasaan tertinggi yang bisa dibagi sekaligus dibatasi.

Betapa pun tingginya suatu kedaulatan, pembatasan kekuasaan harus bisa dilihat dalam sifat internalnya yang antara lain digariskan melalui konstitusi. Pada masa kini, pembatasan yang dimaksud biasanya terkait dengan ide konstitusionalisme negara modern. Artinya, di tangan siapa pun kekuasaan tertinggi berada, hukum dan konstitusi sebagai produk kesepakatan bersama para pemilik kedaulatan tersebut selalu melakukan pembatasan (Asshiddiqie, 2010).

Semangat Zaman

Di samping menghambat demokratisasi, terlalu lamanya seseorang menjabat Kepala Desa juga menutup kemungkinan orang lain untuk mengambil peluang serupa. Bagaimanapun, hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama dan sederajat perlu memperoleh perlindungan. Dalam konteks inilah, pergantian kepemimpinan yang berlangsung secara periodik menemukan urgensi dan relevansinya.

Terselenggaranya pemilihan Kepala Desa secara berkala menjadikan arena politik di desa lebih terbuka. Seiring dengan munculnya figur-figur baru, masyarakat perdesaan bebas memilih calon mereka tanpa intervensi dari siapa pun. Kondisi demikian dinilai mampu mengikis bertahannya kepemimpinan dinasti yang kerap dijumpai pada masa silam sekaligus menghadirkan generasi yang lebih berkualitas.

Selama ini, tersendatnya regenerasi kepemimpinan lokal tak terlepas dari mengakarnya feodalisme di desa. Dipertahankannya nilai-nilai feodal menjadikan penokohan terhadap individu dalam komunitas berbasis ruang tersebut merupakan keniscayaan. Padahal, pemikiran semacam ini barang tentu perlu dikoreksi. Perkembangan zaman menuntut lahirnya generasi yang cerdas dan kompetitif.

Berbeda dengan pemikiran kuno yang didasarkan pada nilai-nilai usang, pemikiran modern menghendaki pengangkatan pemimpin berdasarkan semangat zaman. Adanya rivalitas dalam meraih setiap jabatan publik tak boleh dihindarkan. Persyaratan yang berhubungan dengan aspek-aspek magis dan mitologis tidak lagi relevan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Kewibawaan, kearifan, kesaktian, serta nilai-nilai tradisional lainnya mulai tergantikan oleh kompetensi, prestasi, kinerja dan ukuran-ukuran lain yang coraknya lebih rasional.

Riza Multazam Luthfy peneliti pada Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (Puskolegis) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, menyelesaikan studi doktoral pada Program Doktor Ilmu Hukum UII Yogyakarta, menulis buku "Potret Legislatif Desa Pasca Reformasi" (2014)

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT